Malam ini, segelayut awan hitam nan pekat telah bersemayam di cakrawala.. Menelan sisa-sisa senja yang perlahan merubuhkan puing-puing sinar matahari.. Bulan tak nampak malam ini.. Tertutup oleh senyum manismu yang menyilaukan malamku..
Menyendiri dalam tepian keramaian yang tengah bergemuruh.. Kenapa ? apakah sepucuk tawamu sebegitu mahalnya?
Aku ingin menghampiri tubuh yang terlindung jaket hitam itu.. Bertanya sekedar melepas dahaga keingin tahuan dan keheranan yang telah mencapai tingkat yang tak tentu lagi ujung pangkalnya..
Apakah kakak? Apakah cahaya redup monitor telepon selulermu menjanjikan kebahagiaan seribu kali lipat dari layar nyata yang sekarang tengah menari semarak di depan matamu ?
Apakah kakak ? Apakah gelak tawa konyol ini tak sedikit pun menggelitik mu untuk menggerakkan bibir dan tertawa lepas ?
Sebegitukah mahal senyum tawamu ?
Tak tahu kah kamu ? Bahkan semut pun rela meninggalkan gula termanis di dunia untuk mencicipi manisnya sungging bibirmu kalah senyum bertengger dalam singgasana relief wajah tampanmu..
Dan kemudian senja mulai berpaling kembali..
Keindahannya hanya mampu menjadi pelengkap relung-relung wajahmu yang sayu setelah lelap tertidur semalam..
Indah sekali..
Pagi yang cerah kala kabut menyapu-nyapu tubuhmu yang bergerak lincah mengusir dingin sejenak..
Kemudian kau lanjutkan pandangan tajam mu yang menawan pada sebuah novel kecil yang menarik warnanya..
Oh, pantas setiap sajakmu merona dalam setiap helai nafas pendengarnya.. ada nyawa-nyawa kecil dalam setiap syairmu yang menari-nari dalam pikiranku..
Seperti jari-jari lancangku yang malam ini mulai menari menuliskan sajak sederhana tentang kamu..
Kamu..
Iya Kamu..
Yang pagi ini telah hilang pulang berenang bersama khayalan ilegalku yang tak akan pernah terwujud..
Tapi kamu perlu tahu, kakak..
Kesanmu yang telah terprasasti dalam anganku tak akan semudah itu menghilang..
Begitu juga senyum manismu yang akan terus ku curi-curi hingga kau temukan seseorang yang benar-benar kau cintai dan kau kasihi..
Barulah aku berhenti
Depok, 19 Maret 2015
Rossi Rizki
Menyendiri dalam tepian keramaian yang tengah bergemuruh.. Kenapa ? apakah sepucuk tawamu sebegitu mahalnya?
Aku ingin menghampiri tubuh yang terlindung jaket hitam itu.. Bertanya sekedar melepas dahaga keingin tahuan dan keheranan yang telah mencapai tingkat yang tak tentu lagi ujung pangkalnya..
Apakah kakak? Apakah cahaya redup monitor telepon selulermu menjanjikan kebahagiaan seribu kali lipat dari layar nyata yang sekarang tengah menari semarak di depan matamu ?
Apakah kakak ? Apakah gelak tawa konyol ini tak sedikit pun menggelitik mu untuk menggerakkan bibir dan tertawa lepas ?
Sebegitukah mahal senyum tawamu ?
Tak tahu kah kamu ? Bahkan semut pun rela meninggalkan gula termanis di dunia untuk mencicipi manisnya sungging bibirmu kalah senyum bertengger dalam singgasana relief wajah tampanmu..
Dan kemudian senja mulai berpaling kembali..
Keindahannya hanya mampu menjadi pelengkap relung-relung wajahmu yang sayu setelah lelap tertidur semalam..
Indah sekali..
Pagi yang cerah kala kabut menyapu-nyapu tubuhmu yang bergerak lincah mengusir dingin sejenak..
Kemudian kau lanjutkan pandangan tajam mu yang menawan pada sebuah novel kecil yang menarik warnanya..
Oh, pantas setiap sajakmu merona dalam setiap helai nafas pendengarnya.. ada nyawa-nyawa kecil dalam setiap syairmu yang menari-nari dalam pikiranku..
Seperti jari-jari lancangku yang malam ini mulai menari menuliskan sajak sederhana tentang kamu..
Kamu..
Iya Kamu..
Yang pagi ini telah hilang pulang berenang bersama khayalan ilegalku yang tak akan pernah terwujud..
Tapi kamu perlu tahu, kakak..
Kesanmu yang telah terprasasti dalam anganku tak akan semudah itu menghilang..
Begitu juga senyum manismu yang akan terus ku curi-curi hingga kau temukan seseorang yang benar-benar kau cintai dan kau kasihi..
Barulah aku berhenti
Depok, 19 Maret 2015
Rossi Rizki
Komentar
Posting Komentar